Prilaku
dalam berlalu lintas di jalan raya adalah potret kepribadian diri yang
sekaligus menggambarkan budaya bangsa. Seorang Jepang pernah bilang
"Tunjukan saya lalu-lintas sebuah negeri, maka saya bisa mengetahui
bagaimana keadaan keseluruhan negeri itu!" Kalau lalu-lintasnya tertib,
bisa dipastikan baik segala hal di negeri itu. Sebaliknya, kalau amburadul, itu
jugalah isi negeri itu. Oleh karena itu prilaku berlalu lintas adalah cerminan
dari budaya masyarakat, kalau buruk cara berlalulintas maka buruklah
kepribadian seseorang dan secara kolektif keburukan ini menggambarkan buruknya
budaya bangsa. Semoga kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat di jalan raya
sudah mulai tergugah!
Budaya hukum pengendara hanya patuh ketika ada
petugas POLANTAS, memakai helm, aksesories kendaraan lengkap, tidak terobos
lampu merah dan mematuhi rambu-rambu yang ada hanya karena takut ditilang bukan
karena kesadaran demi keselamatan diri dan orang lain.
Akibat prilaku tidak patuh itu, kemacetan dan kecelakaan sering terjadi.
Kemacetan akibat tidak sabar dan sifat egois berkendara, tidak mendahulukan
yang seharusnya didahulukan dan yang lebih ironis dalam hal kecelakaan, angka
kematian di jalan akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pembunuh
nomor 3 di bawah penyakit jantung dan stroke (detik.com, 2008).
Data Ditlantas Polri tahun 2007 menyebut korban mati akibat kecelakaan lalu
lintas tak kurang dari 12 ribuan setiap tahunnya (Sulis Setyawan: 2008).
Fakta-fakta ini sebagian besar disebabkan oleh perilaku pengendara yang tidak
memperhatikan rambu-rambu, marka jalan dan aturan-aturan lain dalam berlalu
lintas di jalan raya.
Prof. Satjipto Rahardjo secara tegas memasukkan perilaku sebagai unsur
penting dalam hukum, bahkan menempatkan perilaku manusia di atas peraturan.
Menurutnya, proses hukum masih lebih dilihat sebagai proses peraturan daripada
perilaku mereka yang terlibat di situ (Satjipto Rahardjo, 2009: 34). Untuk
menggugah kesadaran agar berprilaku patuh dan taat sudah dilakukan baik secara
tindakan ataupun slogan.
Penyuluhan-penyuluhan telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, lembaga
kepolisian atau lembaga pendidikan tinggi dan lain sebagainya. Namun itupun
belum menunjukkan prilaku yang patuh, tanpa merasa bersalah terobos lampu merah,
tidak pakai helm dan berboncengan sampai tiga atau empat orang. Yang lebih
memalukan lagi terlihat berpakaian seragam (PNS, Polisi dan TNI) melakukan
pelanggaran itu karena harus secepatnya tiba di kantor.
Disisi lain, tindakan yang dilakukan oleh POLANTAS acapkali dipandang
negative, karena masih ada ulah oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan
kewenangan (abuse of power) dengan mencari-cari kesalahan, menunggu terjadi
pelanggaran bukan mencegah terjadinya pelanggaran dan memberikan informasi yang
tidak cerdas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara. Namun tidak
sedikit juga terlihat POLANTAS yang jujur menjalankan tugas, uang tilang tidak
disetor dikantong pribadi dan memberikan kenyamanan kepada pengendara
semata-mata dalam rangka penertiban demi kelancaran berlalu lintas dan menjaga
keselamatan para pengguna jalan. Seharusnya berterimakasih kepada POLANTAS yang
jujur tersebut, karena mereka senantiasa mengingatkan pengendara agar menjaga
keselamatan diri dan kenyamanan berlalu lintas.
Sebaliknya juga pengendara harus sadar bahwa kemacetan dan kecelakaan akibat
prilaku tidak patuh dan tidak taat pada aturan banyak merugikan diri sendiri
dan juga orang lain. Oleh karena itu berlalu lintaslah dengan pantas dan
cerdas, jangan selalu memandang negative POLANTAS yang bertugas, patuh dan taat
pada aturan, tidak egois dalam berkendara dan menghormati hak-hak pengguna
jalan lainnya agar terhindar dari kemacetan dan kecelakaan yang senantiasa
menunggu giliran untuk terjadi. Kesadaran itu mulai dibangun dari dalam diri
ditularkan dalam keluarga dan diaplikasikan di masyarakat (jalan raya) agar
menjadi sosok panutan bagi pengendara di jalan raya.