Kamis, 31 Mei 2012

Budaya Berlalu-Lintas Menunjukan Pribadi Bangsa

Prilaku dalam berlalu lintas di jalan raya adalah potret kepribadian diri yang sekaligus menggambarkan budaya bangsa. Seorang Jepang pernah bilang "Tunjukan saya lalu-lintas sebuah negeri, maka saya bisa mengetahui bagaimana keadaan keseluruhan negeri itu!" Kalau lalu-lintasnya tertib, bisa dipastikan baik segala hal di negeri itu. Sebaliknya, kalau amburadul, itu jugalah isi negeri itu. Oleh karena itu prilaku berlalu lintas adalah cerminan dari budaya masyarakat, kalau buruk cara berlalulintas maka buruklah kepribadian seseorang dan secara kolektif keburukan ini menggambarkan buruknya budaya bangsa. Semoga kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat di jalan raya sudah mulai tergugah!
 
 

Budaya hukum pengendara hanya patuh ketika ada petugas POLANTAS, memakai helm, aksesories kendaraan lengkap, tidak terobos lampu merah dan mematuhi rambu-rambu yang ada hanya karena takut ditilang bukan karena kesadaran demi keselamatan diri dan orang lain.
Akibat prilaku tidak patuh itu, kemacetan dan kecelakaan sering terjadi. Kemacetan akibat tidak sabar dan sifat egois berkendara, tidak mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan yang lebih ironis dalam hal kecelakaan, angka kematian di jalan akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pembunuh nomor 3 di bawah penyakit jantung dan stroke (detik.com, 2008).
Data Ditlantas Polri tahun 2007 menyebut korban mati akibat kecelakaan lalu lintas tak kurang dari 12 ribuan setiap tahunnya (Sulis Setyawan: 2008). Fakta-fakta ini sebagian besar disebabkan oleh perilaku pengendara yang tidak memperhatikan rambu-rambu, marka jalan dan aturan-aturan lain dalam berlalu lintas di jalan raya.
Prof. Satjipto Rahardjo secara tegas memasukkan perilaku sebagai unsur penting dalam hukum, bahkan menempatkan perilaku manusia di atas peraturan. Menurutnya, proses hukum masih lebih dilihat sebagai proses peraturan daripada perilaku mereka yang terlibat di situ (Satjipto Rahardjo, 2009: 34). Untuk menggugah kesadaran agar berprilaku patuh dan taat sudah dilakukan baik secara tindakan ataupun slogan.

Penyuluhan-penyuluhan telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, lembaga kepolisian atau lembaga pendidikan tinggi dan lain sebagainya. Namun itupun belum menunjukkan prilaku yang patuh, tanpa merasa bersalah terobos lampu merah, tidak pakai helm dan berboncengan sampai tiga atau empat orang. Yang lebih memalukan lagi terlihat berpakaian seragam (PNS, Polisi dan TNI) melakukan pelanggaran itu karena harus secepatnya tiba di kantor.
Disisi lain, tindakan yang dilakukan oleh POLANTAS acapkali dipandang negative, karena masih ada ulah oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) dengan mencari-cari kesalahan, menunggu terjadi pelanggaran bukan mencegah terjadinya pelanggaran dan memberikan informasi yang tidak cerdas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara. Namun tidak sedikit juga terlihat POLANTAS yang jujur menjalankan tugas, uang tilang tidak disetor dikantong pribadi dan memberikan kenyamanan kepada pengendara semata-mata dalam rangka penertiban demi kelancaran berlalu lintas dan menjaga keselamatan para pengguna jalan. Seharusnya berterimakasih kepada POLANTAS yang jujur tersebut, karena mereka senantiasa mengingatkan pengendara agar menjaga keselamatan diri dan kenyamanan berlalu lintas.
Sebaliknya juga pengendara harus sadar bahwa kemacetan dan kecelakaan akibat prilaku tidak patuh dan tidak taat pada aturan banyak merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Oleh karena itu berlalu lintaslah dengan pantas dan cerdas, jangan selalu memandang negative POLANTAS yang bertugas, patuh dan taat pada aturan, tidak egois dalam berkendara dan menghormati hak-hak pengguna jalan lainnya agar terhindar dari kemacetan dan kecelakaan yang senantiasa menunggu giliran untuk terjadi. Kesadaran itu mulai dibangun dari dalam diri ditularkan dalam keluarga dan diaplikasikan di masyarakat (jalan raya) agar menjadi sosok panutan bagi pengendara di jalan raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar